Kenapa saya tiba-tiba serius soal “membaca pintar”?
Beberapa tahun lalu saya adalah pembaca yang mudah terganggu: baca dua halaman, buka ponsel, scroll 10 menit, lupa. Rasanya seperti makan nasi pakai garpu—bisa, tapi nggak nikmat. Suatu sore, dengan secangkir kopi yang mulai mendingin, saya memutuskan mencoba pendekatan lain. Bukan karena pengaruh tren literasi digital, melainkan karena saya rindu sekali meresapi kalimat demi kalimat tanpa setengah hati.
Di era notifikasi seperti sekarang, membaca bukan cuma soal memahami isi buku. Ini soal menjaga perhatian, memilah sumber, dan menolak distraksi yang pintar (atau licik). Saya kemudian mulai mencari buku yang relevan, membaca review, dan menerapkan tips kecil. Salah satu yang saya baca—yang banyak membantu—adalah Digital Minimalism karya Cal Newport. Nanti saya ulas singkat.
Review: “Digital Minimalism” — serius tapi nggak ngebosenin
Saya akan jujur: judulnya terdengar kaku, tapi isinya hangat dan masuk akal. Newport nggak menyuruh kita jadi anti-teknologi. Ia justru menawarkan sikap selektif: gunakan teknologi yang menambah nilai, tinggalkan yang cuma bikin kita sibuk. Saya suka bagaimana ia memberi contoh konkret, bukan cuma teori filosofi kosong.
Ada bab tentang “digital declutter” yang menurut saya sangat praktis. Konsepnya sederhana: hapus aplikasi yang bikin kita bolak-balik tanpa tujuan selama 30 hari, lalu evaluasi. Saya coba dan wow—malam hari saya jadi terasa panjang lagi; baca lebih banyak bab daripada buka feed. Newport juga bicara soal ritual membaca: atur waktu, tempat, dan tujuan. Itu mengubah kebiasaan saya dari yang fragmentaris jadi lebih mendalam.
Tentu ada kritik: beberapa saran terasa lebih cocok untuk orang dewasa yang kerja kantoran atau punya kontrol penuh atas jadwal mereka. Tapi intinya tetap berguna: kita diberi alat, bukan dogma.
Ringkasan cepat: inti yang bisa langsung dipraktikkan
Mana yang saya ambil dari buku dan pengalaman pribadi? Ini beberapa poin ringkas yang mudah diingat:
– Lakukan digital declutter selama 30 hari. Hapus aplikasi non-esensial. Jangan panik, ini percobaan.
– Buat ritual membaca: tempat khusus, waktu tanpa gangguan, dan tujuan (misal: memahami suatu konsep, bukan sekadar selesai).
– Pilih sumber berkualitas. Di Indonesia ada banyak toko buku online dan platform rekomendasi; saya kerap cek sinopsis dan review sebelum membeli—kadang juga lewat bukwit untuk cari versi fisik atau edisi tertentu.
– Catat ide penting. Tulis satu kalimat ringkasan setelah setiap bab. Praktik sederhana ini bikin pemahaman menempel.
Tips santai tapi efektif untuk membaca di era notifikasi
Nah, ini bagian ngobrol seperti teman ngopi. Beberapa trik yang saya pakai ketika lagi males disiplin tapi pengin tetap baca:
– Matikan notifikasi, tapi jangan panik. Set ponsel ke Do Not Disturb saat baca 25-50 menit. Rasanya aneh awalnya, tapi dalam 10 menit kamu bakal lupa pernah ada notifikasi itu.
– Mulai dari paragraf yang membuat kamu penasaran. Kalau bab pertama nggak menggigit, lewati dulu. Kita bukan wajib habiskan semua yang kita mulai—pilih konten yang layak waktu kita.
– Baca di dua format. Kadang saya baca e-book waktu commuting, dan baca fisik saat santai malam. Pergantian format membuat otak tetap segar.
– Gabungkan media: setelah baca buku nonfiksi singkat, tonton TED Talk singkat tentang topik yang sama. Ini memperkuat ingatan dan menambah konteks.
Di akhir hari, membaca pintar untuk saya bukan soal produktivitas semata. Ini soal menikmati proses belajar lagi—dengan cara yang realistis untuk dunia yang suka memecah perhatian. Sekarang setiap kali saya membuka buku, ada sedikit kebanggaan kecil: saya mampu memberi waktu penuh pada satu ide. Itu terasa seperti hadiah kecil untuk diri sendiri.